Selasa, Mei 01, 2018

Memahami Surat Al Fatihah (Bagian 1)

Frasa pertama dari Al-Fatihah adalah yang sering sekali diucapkan oleh muslim. Bunyinya adalah “Alhamdulillah”. Kita sering sekali menggunakan di percakapan sehari-hari, ketika saling bertemu, kamu bertanya apa kabarnya. Dan kemudian mereka langsung menjawab, “Alhamdulillah”. Frase ini akan lebih kita perdalam. Apa yang saya pikirkan adalah bahasanya. Bukan hanya apa yang Allah katakan, tapi juga bagaimana cara Allah mengatakannya, ketimbang bentuk lain pengucapannya.

Terjemahan dari Alhamdulillah biasanya adalah, “Segala puji bagi Allah” atau “Terima kasih Allah”. Ini terjemahan yang cukup menarik. Banyak terjemahannya adalah “Segala puji bagi Allah atau Terima kasih Allah”.
Dua Arti Kata “Hamd”, Pujian dan Terima kasih. Apa Bedanya?

Saya akan mulai dengan kata ‘Hamd’, yang dalam Bahasa Arab memiliki 2 arti. Saya ingin semua yang membaca di sini mengingatnya. Kata ‘Hamd’ memiliki 2 arti, yang pertama berarti “Pujian”, yang kedua berarti “Terima kasih”. Pujian dan Terima Kasih. Ini adalah 2 hal yang berbeda, bukan suatu hal yang serupa. Yang pertama yang ingin saya bahas adalah, apa bedanya antara memuji dan berterima kasih. Ini hal pertama yang perlu kita ingat.


1. Contoh Memuji

Misalnya, kamu sedang di jalan, dan kamu melihat mobil yang bagus sekali. Apa yang kamu lakukan? Memuji atau berterima kasih? Pastinya memuji. Apakah mungkin kamu datangi mobil itu dan mengusapnya sambil berkata, “Terima kasih banyak BMW”, tentu kamu tidak akan melakukan itu kan, tapi kamu akan mengatakan, “Mobilnya bagus!”. Kamu memuji.

Contoh lainnnya. Misalnya kamu mengunjungi rumah tetangga yang baru memiliki bayi. Kamu datang dan mengatakan, “Bayinya lucu sekali, cakep sekali.” Meskipun mungkin sebenarnya tak terlalu lucu :) . Yang kamu lakukan adalah memuji, bukan justru berterima kasih.

Contoh lagi, kalau sedang menonton olahraga, lalu atletnya sangat ahli, kamu akan memuji si atlet, “Wah, luar biasa itu.” Kamu tak berterima kasih, tapi memuji.


2. Berterima kasih, Tidak Otomatis Memuji

Tapi kalau berterima kasih, itu hal yang beda. Terima kasih diucapkan bila seseorang melakukan sesuatu untukmu. Jadi kalau kamu melihat sesuatu yang impresif, cantik, mengagumkan dan membuatmu tertarik, maka kamu akan memujinya. Tapi jika seseorang berbuat sesuatu yang baik padamu, maka kamu akan berterima kasih, kamu tak harus memujinya. Seseorang yang kamu puji, tak harus selalu kamu ucapkan terima kasih. Begitu juga sebaliknya, bila kamu berterima kasih, kamu tak harus memujinya juga.

Saya beri contohnya saat di mana kamu berterima kasih tapi tidak perlu memuji. Saya ambil contohnya dari Al Qur’an. Nabi Musa itu dibesarkan dalam keluarga yang menarik. Dia diadopsi oleh Firaun. Firaun membesarkannya, lalu beberapa tahun kemudian Nabi Musa pun kembali (untuk mendakwahinya). Firaun berkata, “Berani sekali kamu? Berani sekali kamu berkata seperti ini kepadaku?”. Firaun berkata, QS. Asy Syuara ayat 18, “Bukankah kami yang membesarkanmu sejak bayi di istana ini? Bukankah kamu menghabiskan banyak waktu hidupmu di sini? Sekarang kamu bicara begini kepadaku?”

Apa yang Firaun bilang pada Musa? “Apakah kamu tidak bersyukur?”. Dan jawaban dari Nabi Musa kala itu adalah… “Memang engkau berjasa bagiku, terima kasih.” Dengan kata lain, meskipun Firaun tidak pernah dipuji, dan tak pernah dipuji para nabi ataupun kaum muslimin, tapi bila ia berbuat baik, ia akan mendapat ucapan terima kasih. Ucapan terima kasih bisa ada, meski tanpa pujian.

Contoh lainnya. Al Qur’an berbicara tentang hak-hak orangtua. Para orangtua di sini pasti tahu karena sering memanfaatkan ayat ini. Al Qur’an berbicara tentang hak-hak orangtua. Allah berfirman tentang orangtua, “Bersyukurlah kepada-Ku dan pada kedua orangtuamu.” (QS. Luqman ayat 14). Dan ayat 15 : “Jika orangtuamu memaksamu untuk berbuat syirik, jangan patuhi mereka.” Syirik itu perbuatan yang amat buruk, tidak ada yang lebih buruk daripada syirik. Tapi di awal ayat dikatakan, kamu harus tetap bersyukur pada mereka. Dengan kata lain, jika mereka berbuat syirik, kamu tidak akan memuji apa yang mereka lakukan. Tapi tetap saja, mereka orangtuamu, jadi kamu harus tetap berterima kasih padanya. Coba pikirkan kisah Nabi Ibrahim a.s. Dia tidak memuji apa yang dilakukan ayahnya. Tapi dia tetap ucapkan terima kasih kepada ayahnya.

Maka yang pertama yang ingin saya sampaikan adalah, kata “Hamd” dalam Al-Fatihah berarti memiliki 2 hal, yaitu pujian dan terima kasih. Dua hal ini berbeda. Terkadang kamu bisa memuji tanpa perlu berterima kasih dan begitu juga sebaliknya.


Sekarang kita lihat apa yang dikatakan Allah dalam kata Alhamdulillah. Allah berfirman, segala puji itu untuk Allah dan Dia pun berfirman, segala ucapan terima kasih hanya bagi Allah, dan Dia tidak ingin mengatakan hanya sebagian-sebagian saja.


Alasan tidak memakai kata Al Madhulillah dan Asy syukrulillah
Ada kata Bahasa Arab, yakni ‘Al Madhulillah’, yang artinya “Segala puji hanya bagi Allah”. Saya tidak ada masalah dengan terjemahannya, karena kata ‘Madh’ itu hanya berarti terpuji saja.

Ada juga ‘Asy syukrulillah’. Jika Dia berfirman seperti itu, saya juga tidak masalah jika terjemahannya adalah, “Terima kasih hanya untuk Allah atau syukur hanya bagi Allah”. Tapi Allah tidak menggunakan 2 kata itu, tetapi justru memakai, Alhamdulillah, yang artinya Dia menggabungkan makna keduanya. Mana kata yang lebih baik? Ada beberapa alasan, yaitu :

A. Kata Al Maudhulillah, artinya memuji tapi tak sungguh-sungguh

Alasan yang pertama, ketika kamu memuji sesuatu, terkadang tidak sungguh-sungguh. Misalnya, kamu sedang mengebut dan seorang polisi menyuruhmu minggir, kalimat yang pertama kamu ucapkan adalah: “Topi Anda bagus sekali, pak.” Atau, “Ganteng sekali Anda hari ini.” Kamu memujinya, tapi sebenarnya kamu tidak sungguh-sungguh. Kamu hanya berharap agar tidak kena tilang saja.

Atau contoh lainnya, biasanya yang masih muda, ketika nilai raportnya jelek sekali, kamu masuk ke rumah, lalu mengatakan “Ma, masakan mama hari ini enak banget.” Padahal ibunya belum masak :) . Kamu memuji, tapi tidak sungguh-sungguh. Pujian bisa saja palsu.

Banyak pujian palsu untuk para raja, pujian palsu untuk para bos, untuk para hakim, sering yang seperti ini. Pujian yang sifatnya formal. Untuk menyenangkan seseorang tapi kamu tak sungguh-sungguh memujinya. Contohnya saat kamu sedang wawancara kerja, dan itu wawancara kerja paling kacau yang pernah kamu lakukan. Tapi ketika selesai dan kamu akan pergi, kamu tetap mengucapkan, “Senang bertemu dengan Anda.” Tidak menyenangkan, tapi kamu harus tetap mengucapkannya. Itu pujian palsu.

Jadi kata “Madh” yang digunakan, maka bisa jadi pujiannya palsu. Tidak pantas diucapkan untuk Allah.


B. Kata Asy-syukrulillah, artinya berterima kasih hanya setelah dibantu

Misalnya yang digunakan adalah kata ‘Asy-syukrulillah’, yang artinya segala ucapan syukur/terima kasih hanya untuk Allah. Ucapan terima kasih diucapkan, ketika kamu mendapat suatu bantuan. Sesuatu dilakukan untukmu dan kamu sadar kamu sedang dibantu, maka kamupun mengucapkan terima kasih. Misalnya, banmu kempes, lalu seseorang datang menolong, maka kamu pun mengucapkan terima kasih. Jika ban mobilmu kempes dan tidak ada orang yang menolong, kamu hanya tidur-tiduran saja di mobil, maka kamu tidak akan mengucapkan terima kasih pada siapapun.

Ucapan terima kasih diberikan jika ada yang bantu dan kamu sadar akan pertolongan itu. Dengan kata lain, itu adalah suatu reaksi. Tidak mungkin kamu mengucapkan terima kasih lebih dulu. Tidak mungkin kamu bertemu seseorang dan langsung mengatakan, “Terima kasih, terima kasih, terima kasih.” Tidak akan seperti itu. Itu aneh.


C. Kata Hamd, Pujian yang sungguh-sungguh dan Bukan Reaksi

Allah menggunakan kata ‘Hamd’, menggunakan pujian dan syukur. Kata ‘Hamd’ dalam Bahasa Arab hanya berarti pujian yang sungguh-sungguh, bukan pujian yang dibuat-buat atau palsu, bukan suatu reaksi. Dan Hamd lebih kuat daripada kata “Al Madhulillah” ataupun kata “Asy-syukrulillah”. Hamd Lebih mencakup banyak hal daripada “Al Madhulillah” ataupun kata “Asy-syukrulillah”. Allah memilih kata yang lebih baik daripada 2 kata tadi bila digabung.


D. Meski Dua Kata Al Madhu wa Syukrulillah Digabungkan, Tetap Lebih Kuat. Kata Alhamdulillah, Karena Lebih Mudah Diucapkan dan Singkat, Punya Dua Makna dalam Satu Kata

Dan ini yang terakhir. Dalam Bahasa Indonesia, ada 2 arti untuk kata ‘Hamd’ tadi. Tapi Allah cukup pakai kata 1 kata, Hamd. Maka mungkin kalian menemui hal yang rumit di Al Qur’an saat menerjemahkannya (bila tidak paham). Terkadang Allah pakai 1 kata, tapi untuk memahaminya, kamu butuh beberapa kata, benar seperti itu kan? Tapi bagaimana jika Allah sendiri memakai 2 kata tadi? Bagaimana jika Allah menyebutkan, “Al Madhu wa Syukrulillah”? Jika Allah sendiri yang menyebutkan 2 kata tadi, pujian dan terima kasih untuk Allah. Jika saja Dia gunakan 2 kata tadi, apakah akan sama? Tidak akan sama. Tak akan sama, karena ada prinsip mendasar yang indah dalam Bahasa Arab dan ini sesungguhnya prinsip dalam semua bahasa apapun. Dalam Bahasa Arab ada istilah yang artinya, “Bicara yang terbaik adalah dengan sedikit kata, namun maksudnya dapat disampaikan.” Gunakan lebih sedikit kata, tapi maksudnya sampai. Itu yang terbaik.

Beberapa diantara Anda ada yang punya teman, yang bicara selama 30 menit, tapi tak jelas apa yang dia sampaikan. Bicaranya banyak, tapi intinya tidak ada. Kamu ingin dia cepat sampaikan intinya apa. Ada yang kebanyakan menggunakan kata-kata hanya untuk menjelaskan hal yang sederhana. Contohnya, “Hari ini saya ke suatu sisi bangunan yang banyak tapakan naik turun untuk pindah lantai.” Padahal, bilang saja lagi naik tangga! J Tidak perlu menjelaskan detail yang tak penting. Cara bicara yang terbaik haruslah jelas, ringkas dan mudah diucapkan. Sehingga ‘Al Hamd’ itu lebih mudah diucapkan, ketimbang ‘Al Madhu wa Syukrulillah’.


E. Kata Alhamdulillah, Tidak Perlu Memakai Kata ‘Dan’, Karena sudah jadi satu

Tapi ada lagi perbedaannya.  Dalam Bahasa Arab Klasik, ketika kamu menaruh kata ‘dan’. Kata ‘dan’ diantara dua hal. Kata “dan” itu sederhana, selalu digunakan. Kalau pakai kata “dan” dalam Bahasa Arab adalah ‘wa’. Ini memisahkan dua hal, bahkan memisahkan pengertiannya. Jadi jika kamu menyebutkan ‘Al Madhu WA asyukrulillah’, kamu mengatakan, “Segala puji bagi Allah untuk suatu hal DAN segala syukur untuk Allah akan hal yang lain”. Mereka tidak selalu bergabung, karena memang katanya tidak digabungkan. Karena dipisah, maka terkadang kamu mungkin sedang ingin memuji Allah tapi tidak berterima kasih kepada-Nya. Dan terkadang kamu ingin bersyukur pada-Nya tapi tidak memuji-Nya. Tapi jika kamu mengucapkan Alhamdulillah, bagaimanapun kondisinya, apa maksud dari ucapanmu? Artinya adalah kamu memuji dan berterima kasih pada-Nya bersamaan, kamu tidak bisa memilih salah satu.


Makna Kata Alhamdulillah :

1. Kata Alhamdulillah, Berarti Berpikir Positif dan Optimis

Misalnya, kamu sedang berjalan dan kamu lalu melihat mobil bagus, kamu ucapkan Alhamdulillah, apa maksud yang seharusnya? Kamu memuji Allah, karena telah memberikan kemampuan pada seseorang untuk merancang dan membangun mobil itu dan kamu berterima kasih pada Allah karena dapat kesempatan untuk duduk di mobil itu. Kamu memuji dan bersyukur di saat yang bersamaan. Itu yang kamu lakukan. Ini sikap yang sering terjadi diantara kaum muslim.

Sering sekali jika ada yang menanyakan kabar ketika di saat yang buruk. “Bagaimana kabarmu?” Dan dijawab dengan wajah kusut dan sedih,”Emm, ya Alhamdulillah”. Saat itu, kamu tidak sungguh-sungguh memuji Allah ketika cara bicaranya seperti itu. Kamu tidak sungguh-sungguh berterima kasih pada-Nya. Alhamdulillah itu tidak hanya kata yang terucap, tapi juga gambaran sikap. Allah tidak tertarik dengan apa yang hanya terucap. Dia lebih tertarik dengan hubungan antara yang terucap dengan yang ada di hati.

Kita harus pahami apa yang kita katakan saat ucapkan Alhamdulillah. Misalnya saat kamu terjebak macet dan kamu ucapkan Alhamdulillah. Hal ini agak sulit kan ya? Karena saya yakin kalian sering sekali terjebak macet. Saat macet dan mengucap Alhamdulillah, apa maksud yang seharusnya? Bahwa, “Ya Allah seburuk apapun ini kelihatannya, saya yakin ada hikmah dan sesuatu yang baik untuk diriku, saya bersyukur atas macet ini, saya memuji-Mu dan saya bersyukur karena saya selamat, saya senang karena saya masih punya mobil. Saya terjebak macet, tapi setidaknya saya punya mobil sendiri, saya punya pekerjaan.” Kamu harus mulai berpikir secara positif. Dengan Alhamdulillah, itu memaksa kaum muslimin untuk selalu berpikir secara positif. Harus seperti itu. Ini hal pertama yang saya sampaikan padamu.


2. Alhamdulillah Adalah Kata Benda, Permanen, Tak Terikat Waktu

Kedua yang ingin saya sampaikan tentang Alhamdulillah. Dalam Bahasa Arab, kamu bisa gunakan kata benda dan kata kerja. Memang ini akan terdengar seperti pelajaran tata bahasa. Jadi kata kerja dan kata benda, mana yang dapat ada bentuk waktunya? Seperti bentuk lampau (past tense), saat ini (present tense) dan yang akan datang (future tense).

Kata kerja bisa menggambarkan waktu, tapi kata benda tidak bisa. Tidak ada bentuk lampau atau yang akan datang untuk kata benda. Apakah kalian paham?

Ketika saya katakan, “Saya sedang memuji Allah”, maksudnya adalah memuji sekaligus berterima kasih, tapi hanya ucapkan satu, agar singkat. Ketika saya ucapkan, “Saya sedang memuji Allah”, berarti saya menggunakan kata kerja

Kalau saya katakan, “Kita MEMUJI Allah”, berarti adalah kata kerja saat ini. Ketika saya katakan: “SEGALA PUJI milik Allah.” Kata “puji” di kalimat itu termasuk kata benda atau kata kerja? Apakah jelas bahwa kata “puji” di sini adalah kata benda? Allah bisa saja menyebutkan kata kerja, misalnya ‘Ahmdullah’, yang artinya “Aku memuji Allah”. Atau ‘Nahmadullah’, seperti yang biasa di khutbah. “Alhamdulillah nahmaduhu wasta’inu..”, pernah dengar kan? Jadi, ini kata kerja.

‘Nahmaduhu’, artinya kita memuji-Nya, ‘Ahmaduhu’, artinya aku memuji-Nya. Tapi Allah tidak mengatakan, ‘Aku’ atau ‘Kita’. Dia tidak menggunakan kata kerja, tapi Dia gunakan kata benda.

Hal dasar yang tadi saya sebutkan adalah, kata benda tidak ada kaitannya dengan waktu, baik lampau, sekarang atau akan datang. Kata kerja ada kaitannya dengan waktu, baik lampau, sekarang atau yang akan datang. Ini yang membuatnya jadi indah.

Jika saya mengatakan, ‘Aku sedang memuji Allah’, maka saya hanya melakukannya saat ini saja, saya tidak mengatakan tentang masa lampau, atau waktu yang akan datang. Jika saya mengatakan kata kerja bentuk lampau, maka tak ada kaitannya dengan masa sekarang dan yang akan datang, karena hanya bisa salah satu saja. Dan karena saya sedang memuji Allah saat ini saja, maka belum tentu sejam berikutnya saya masih memuji. Waktunya terbatas saat ini saja, tidak permanen. Kata kerja itu tidak permanen (terikat waktu).

Namun Allah memakai kata benda, yang permanen (tak terikat waktu). Segala puji bagi Allah, Alhamdulillah, digambarkan tak terikat dengan waktu. Tahukah kamu apa artinya itu? Artinya, saya mungkin hanya bisa memuji Allah saat ini saja. Tapi pujian bagi Allah itu akan selalu ada. Saya mungkin tak akan memuji Allah selama-lamanya tapi pujian bagi Allah akan selalu ada. Pujian bagi Allah tidak tergantung oleh saya. Alhamdulillah itu berarti, pujian bagi Allah tak tergantung oleh saya.


3. Kata “Alhamd” Berdiri Sendiri, Tidak Memerlukan Subjek/Pelaku

Ini hal ke-2 tentang kata kerja dan kata benda, coba perhatikan. Ketika kamu menggunakan kata kerja, seseorang perlu melakukan kegiatan tersebut, disebut subjek, disebut  fa’il dalam Bahasa Arab. Seseorang perlu melakukan yang disebutkan. Kamu tak bisa, kalau hanya mengatakan hal tidak lengkap seperti, “Mengerjakan ujian”. Memangnya siapa yang mengerjakan ujiannya? Atau tidak pas kalau kamu mengatakan, “Menghilang!”. Apanya yang hilang? “Oh, pulpen saya, pulpen saya yang hilang.” Paham kan?

Kalau kamu gunakan kata kerja, harus dilengkapi dengan pelakunya. Tidak bisa kalau hanya kata kerja tanpa pelakunya, tidak bisa dipahami, dan akan membingungkan. Tapi kalau kata benda, tidak butuh seseorang untuk melakukannya. Kata benda tidak memerlukan pelaku. Kata benda itu berdiri sendiri. Sebuah apel, ya apel. Apakah kamu perlu menanyakan, siapa yang melakukan? Tidak perlu. Karena berdiri sendiri.

Ketika Allah menggunakan kata ‘Alhamd’. Dia membuatnya berdiri sendiri, tak butuh seseorang. Kalau Allah gunakan kata kerja, maka perlu seseorang, iya kan? Perlu seseorang untuk memuji-Nya, entah itu saya atau pun Anda. Perlu seseorang untuk memuji-Nya, entah itu saya atau pun Anda. Tapi Allah membuatnya berdiri sendiri, tak butuh seseorang atau pun suatu hal. Ini lebih kuat dari kalimat: “Segalanya memuji Allah”, “Semua orang memuji Allah”, karena kalau ‘semua orang’ dan ‘segala sesuatu’ disebutkan maka berarti hanya ‘semua orang’ dan ‘segala sesuatu’ sekarang saja. Tapi Allah tidak ingin dibatasi oleh waktu ataupun oleh orang yang melakukannya. 

Subhanallah… Allah tidak membutuhkan kita untuk mengucapkan Alhamdulillah. Kita harus sadar, bahwa ketika mengucapkan Alhamdulillah, kita sadar bahwa Allah tidak butuh kita, kita yang butuh Allah. Pemahaman itu hanya berasal dari 1 kata, Alhamdulillah.


4. Alhamdulillah, Bukan Kata Perintah

Kata perintah merupakan kata kerja yang berbentuk khusus. Misalnya dalam Bahasa Arab, kamu bisa saja bilang, ‘Ihmadullah’, artinya “Pujilah Allah!”. Atau “Ayo sholat Maghrib!”, atau ketika menyuruh anak Anda, “Ambilkan air!”. Misalnya, ketika saya di rumah, saya suruh anak perempuan saya, Husna, untuk mengambil air, “Hei, Husna, bawakan ayah air!”. Husna punya dua pilihan. Ketika kamu memerintah seseorang, dia punya 2 pilihan. Dia bisa kerjakan ataupun tidak. Jika saya perintahkan Husna untuk mengambil air, dia punya dua pilihan, apakah dia ambilkan air, atau dia tidak harus ambil air. Dua pilihan yang jelas buat Husna.

Jika Allah berfirman, “Pujilah Allah!”, apa kemungkinan yang terjadi? Ada yang mengerjakan, ada pula yang tidak mau melakukannya. Oleh karena itu, jika kamu perintahkan seseorang untuk melakukan sesuatu, ‘bola’ nya kamu serahkan ke dia. Tergantung dia. Mungkin dia kerjakan, mungkin juga tidak. Allah tidak mengatakan pujian bagi-Nya itu tergantung dengan kita. Dia tidak menaruh ‘bola’ nya pada kita. Mau kamu kerjakan atau tidak, masa bodoh, pujian bagi-Nya tetap ada. Alhamdulillah akan terus ada, selama-lamanya akan tetap ada. Manusia datang dan pergi, generasi akan terus berganti, dunia pun juga akan pergi, tapi pujian bagi Allah akan terus ada, seperti itu faktanya


5. Kata Alhamd, Mengandung 2 Jenis Komunikasi

Satu hal lagi tentang kata ‘Alhamd’. Ada 2 jenis komunikasi dalam Bahasa Arab, yaitu yang bersifat informasi atau mengungkapkan perasaan. Disebutnya ‘Jumlah Insyaiyah’dan ‘Jumlah Khobariah’. Ini istilah teknis saja. Saya beri contoh sederhananya. Kamu bisa saja berkomunikasi untuk mengungkapkan perasaan kamu atau kamu mungkin berkomunikasi untuk memberikan suatu informasi. Dua jenis komunikasi yang kedengarannya sangat teknis dan rumit, akan saya permudah.

Komunikasi Berupa Informasi

Ketika saya duduk dengan seseorang, dan saya menjelaskan sesuatu kepadanya, itu berarti memberi informasi. Seperti sekarang, saya sedang menjelaskan Surat Al-Fatihah padamu, menjelaskan Alhamdulillah, ini adalah perbincangan yang memberikan informasi, komunikasi yang memberi informasi.

Komunikasi Berupa Perasaan

Misalnya saat sedang ikut acara ceramah, kita istirahat dulu untuk shalat maghrib dan kamu tinggalkan kursimu, lalu berdoa. “Ya Allah, saya duduk di barisan depan, semoga tidak ada yang menempati kursiku.” Dan ketika kamu sholat dan akan mengucapkan salam, Assalaamu’alaikum, kamu bergegas kembali dan kamu dapati kursimu masih kosong, biasanya apa kata pertama yang akan kamu ucapkan? “Alhamdulillah…”. Meski mungkin belum ada orang di gedung itu.

Jika kamu mengucapkan Alhamdulillah ketika tidak ada orang lain, kamu sedang mengungkapkan perasaanmu. Jika saya sedang mengajarkan seseorang tentang kata Alhamdulillah, maka saya sedang memberikan informasi. Tapi jika saya ucapkan untuk diri sendiri, bisa jadi merupakan ungkapan perasaan. Bisa dipahami kan bedanya?

Alasan Memakai Alhamdulillah dan bukan ‘Innal hamdalillah’?

Sekarang, mari kita bicarakan Innal hamdalillah. Ketika kamu sedang mendengarkan khutbah di Masjid, khatib akan memulai dengan ucapan, ‘Innal hamdalillah’. Kata pertama dari ‘Innal hamdalillah’, adalah ‘inna’, yang artinya, ‘sesungguhnya’. Maka artinya, ‘Sesungguhnya segala puji bagi Allah.’

Mana yang lebih kuat? Mengatakan, ‘Segala puji bagi Allah’, atau mengatakan ‘Sesungguhnya, segala puji bagi Allah.’ Tentunya dengan kata ‘sesungguhnya’ (inna), maka akan terdengar lebih kuat. Khatib menggunakannya setiap shalat Jumat. Pertanyaannya, kenapa Allah tidak menggunakannya? Kenapa Allah tidak mengatakan ‘‘Innal hamdalillahi rabbil alamin arrahmaanirrahiim maliki yaumiddin?” Kenapa tidak ditambahkan kata ‘Inna’ supaya lebih kuat? Kamu mungkin sering dengar bahwa Al Qur’an itu sempurna. Kamu tidak boleh menambahkan 1 kata pun. Tidak boleh ditambahkan satu katapun, sudah sempurna.  Jadi apa bedanya jika saya tambahkan sedikit kata ‘inna’? Khatib saja melakukannya terus kan? Saya juga boleh dong menambahkan.

Perbedaannya adalah, ketika kamu menggunakan kata ‘inna’ dalam tata Bahasa Arab, pernyataaannya hanya berupa komunikasi informatif. Itu hanya memberi informasi, bukan tentang jenis pernyataan apa, bukan ungkapan perasaan. Bila kamu tidak menggunakan ‘inna’ maka pernyataanmu bisa jadi memberi informasi atau bisa jadi ungkapan perasaan. Dengan tidak menambahkan kata ‘Inna’, Allah sebenarnya membuat kata Alhamdulillah menjadi pernyataan untuk memberitahu orang lain, dan juga Alhamdulillah dapat pula menjadi pernyataan untuk menyatakan diri kita sendiri. Subhanallah… Keindahannya adalah, itu dapat digunakan untuk ungkapan hati kita, dan juga sebagai sebuah pesan yang ingin kita sampaikan untuk orang lain. Dua-duanya.

Jika memakai ‘Innal hamdalillah’ yang dipakai, maka secara teknis, itu bukanlah bentuk ungkapan perasaan. Itu hanya dimaksudkan untuk memberitahu orang lain, bukan untuk dirimu sendiri. Seorang Khatib tentu saja tidak berbicara untuk dirinya sendiri, tapi pada jamaah. Maka yang dia katakan, ‘Innal hamdalillah’. Saya ingin kalian mengingat Alhamdulillah. Khatib sedang memberitahumu, maka dia gunakan ‘inna’.

Inti dari yang ingin saya sampaikan adalah bahwa setiap frase di dalam Al Qur’an, dimulai dari Alhamdulillah. Sangat sempurna cara Allah menyampaikannya. Bahwa, tak peduli berapa banyak variasi yang coba kamu munculkan, menggunakan kata kerja, menggunakan ‘Inna’, menggunakan ‘syukr’, memakai ‘madh’, kamu tidak akan dapatkan seperti apa yang coba Allah katakan.


6. Alhamdulillah, Bukanlah Perdebatan dan Sudah Ada dalam Hati Orang Beriman

Saya akan sebutkan 2 kalimat dan kalian sebutkan mana yang terdengar normal.

“Saya makan siang”

Kalimat kedua, “Makan siang saya makan.”

Kalimat “Saya makan siang”, terdengar lebih normal, kan?

Contoh lainnya, “Mereka pergi ke sekolah”, atau “Ke sekolah mereka pergi.”
Mana yang terdengar lebih normal? Jawabannya, ”Mereka pergi ke sekolah.”
Tapi jika saya bilang, “Ke sekolah mereka pergi”, apa kamu tetap paham maksudnya?

Jadi yang satu normal, yang satu terdengar aneh, tapi keduanya tetap dapat dipahami. Sebenarnya yang ingin saya sampaikan adalah, terkadang dalam Bahasa Arab, urutan dalam kalimat itu berubah dan akan berbentuk aneh. Ketika kamu berjalan untuk sholat Ied, saat kamu mengemudi untuk sholat Ied, dan bertakbir… “Allaahu akbar Allaahu akbar Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allaahu akbar walillaahilhamd” = Lillahi Alhamd. Sedang yang ada di Al Fatihah adalah Alhamdulillah. Kata-katanya sama, tapi urutannya terbalik.

Bukan hanya saat sholat Ied, di Al Qur’an juga terdapat hal yang sama. “Walillaahilhamd Rabbissamawati wa rabbbil ardh”, ada juga di Al Qur’an. 

Terkadang Allah memakai Alhamdulillah, dan sebenarnya ada 7 kali Allah gunakan Alhamdulillah. Beberapa kali di Al Qur’an pun dapat kamu temukan ‘Lilahilhamd’. Sayangnya, keduanya tadi diterjemahkan dengan cara yang sama. Padahal sebenarnya keduanya adalah dua hal yang berbeda. 

Saya akan jelaskan apa bedanya Alhamdulillah dan Lillahilhamd.

Kenapa Allah gunakan Alhamdulillah, apa bedanya jika Dia gunakan Lillailhamd? Ini hal terakhir yang ingin saya sampaikan tentang ‘Alhamd’. Dalam Bahasa Arab, ketika menggunakan urutan yang tidak biasa, sebagaimana contoh yang tadi saya berikan.

“Saya makan siang.”

Versi anehnya adalah, “Makan siang saya makan”

Ketika kamu menggunakan urutan yang tidak umum/aneh, yang sebenarnya ingin kamu katakan adalah, “Saya tidak makan apapun lagi, hanya makan siang saja.” Tapi tidak harus hanya dengan kata-kata. Cukup dengan mengacak-ngacak urutannya dan hanya memberitahu kata-katanya saja. Jika saya katakan, “Saya pergi ke sekolah”,  maka kalimat itu normal. Tapi jika saya katakan, “Ke sekolah saya pergi”, sebenarnya apa maksudnya dalam tata Bahasa Arab? Dalam logika berpikir Bahasa Arab adalah mereka hanya pergi ke sekolah. Mereka tidak ke bioskop, mereka tidak pergi berolahraga, mereka tidak pergi bekerja. Mereka hanya pergi ke sekolah, tidak ke tempat lain. Paham kan? Jadi menambahkan 1 kata, akan mempengaruhi arti ketika mengubah urutannya. Dan yang ditambahkan adalah kata ‘Hanya’.

Saya ingin kalian memikirkan kata ‘hanya’. Kita lihat dalam konteks lainnya, sehingga kalian bisa memahami dengan lebih baik. Contohnya, sebagai seorang guru, dulu saya pernah mengajar anak SD, pernah juga mengajar TK, pernah juga mengajar anak SD kelas 2 dan 3. Ketika saya mengajar anak kelas 3, ada dua anak perempuan yang mengobrol di belakang, di dalam kelas. Yang bernama Zainab dan Fatimah, mereka banyak bicara. Saya paham anak perempuan, karena saya punya 4 anak perempuan. Dua anak perempuan di belakang, ngobrol, dan ngobrol terus. Aku panggil, “Zainab!”. Dia lalu menjawab, “Kan bukan hanya aku yang ngobrol.” Ketika dia bilang kalimat tadi, apa maksud dari perkataan dia yang sebenarnya? “Kalau saya harus masuk ke ruang kepala sekolah, Fatimah juga harus ikut bersamaku.” 

Tapi Zainab  tidak perlu menambahkan banyak kalimat, dia cukup gunakan 1 kata. Kata apakah itu? ‘Hanya’. Jika kamu menggunakan kata ‘hanya’ dengan tepat, maka kamu dapat menyampaikan dua hal dalam 1 hal. Inilah kerennya kata ‘hanya’. Misalnya aku berkata, “Aku tidak hanya pergi ke Singapura.” Itu berarti saya tidak berkata apa-apa lagi, tapi kalian bisa tahu apa maksud saya kan? Itu berarti, “Saya juga pergi ke Malaysia, dan negara lainnya serta seterusnya.”

Terkadang Allah mengatakan, ‘Lillahilhamd’, artinya Segala puji hanya untuk Allah. Hamd, Hanya untuk Allah. Maka akan ada lanjutannya, yaitu “tak ada lagi yang terpuji selain Allah.” Tidak tergantung pada siapapun. Titik!

Jika kamu mengatakan ‘hanya’, berarti segala puji itu Hanya milik Allah, tak ada yang lain. Allah mengatakan ‘lillahilhamd’ di surat yang ke 45, surat Al Jaatsiyah. Di bagian akhir suratnya. Sangat mengesankan karena keseluruhan surat tersebut berisi perdebatan dengan orang-orang yang melakukan syirik. Keseluruhan suratnya adalah perdebatan. Dan di bagian akhir debatnya, Allah berkata kepada orang musyrik, “Hey.. Segala puji itu hanya milik Allah!” Apa yang Dia katakan kepada orang musyrik? Segala puji itu Hanya milik Allah!, bukan milik yang lain.  Dengan kata lain, ‘Lillahilhamd’ itu diucapkan ketika berbicara dengan orang yang tidak setuju denganmu. Ketika sesama Muslim berbicara satu sama lain, kita tidak mengatakan ‘Lilllahilhamd’, tapi yang kita ucapkan adalah Alhamdulillah karena kita tidak meributkan hal itu. Kalau kita bicara ke sesama Muslim: “Hey.. Segala puji hanyamilik Allah! Kamu paham!!” Tidak, kamu tidak perlu mengucapkan begitu kepada sesama muslim, tapi kita cukup ucapkan Alhamdulillah, karena Laa illaahillallah tidak ada masalah diantara kita, kita tidak masalah dengan bagian itu. Paham kan? Jadi kita tidak perlu berdebat, tidak perlu dengan nada bicara seperti itu. Tidak perlu.

Allah memperkenalkan diri-Nya sendiri di Surat Al Fatihah. Dia tidak mau jadi perdebatan. Dia tidak mau berteriak pada kita saat pembukaan Al Quran. Dia ingin berbicara pada kita dengan kesimpulan bahwa Alhamdulillah bukanlah perdebatan. Ini adalah sesuatu yang sudah kamu pahami, sudah ada di hatimu, maka tidak perlu mengatakan Lillahilhamd, maka Allah akan lebih memilih kata Alhamdulillah. 

Apa yang Allah ajarkan pada kita? 

Bahwa Alhamdulillah itu sudah ada di hati kita. Saya tidak perlu diyakinkan lagi, tidak perlu dipaksa lagi. Orang musyrik tidak punya ini. Maka mereka perlu diberi, mereka perlu diberitahu, dengan Lillahilhamd.


7. Dalam Alhamdulillah, Allah langsung memperkenalkan Nama-Nya

Ini bagian selanjutnya, ini bagian kerennya. Allah minimal punya 99 nama. Allah tidak mengatakan ‘Alhamdulilahi rahman’, ‘Alhamdulillahi rahim’, ‘Alhamdulil Malik’, ‘Alhamdulillahi Kholik’, ‘Alhamdulillahi Wahab’, Alhamdulillah Qahhar’, semuanya benar. Semuanya benar, tidak ada yang salah. Kenapa Allah gunakan, Alhamduli.. Allah? Karena Al Fatihah adalah saat di mana Allah memperkenalkan diri-Nya. Contohya, saat kamu memperkenalkan dirimu pada orang lain, kamu akan sebutkan nama. Jika kamu tidak kenal saya, saya tidak akan datang dan bilang, “Assalaamu’alaikum, saya seorang guru”. Kenapa? Karena seharusnya kan, “Assalaamu’alaikum, saya Nouman.” Jika saya bilang saya guru, mereka akan jawab: “ Waalaikumussalam, kamu juga aneh.” Lalu pergi menjauh. Kamu tidak memperkenalkan dirimu dengan penjelasan, tapi dengan menggunakan sebuah nama

Contohnya, Saya akan memberi sebuah cerita. Saat saya sering berkeliling di negara saya, dimana kejadian ini selang beberapa saat setelah peristiwa 11 September 2001, saat negara sedang tegang kala itu. Saya pergi ke Louisiana. Saya berhenti di Pom bensin dan isi bensin. Ada seseorang yang memperhatikan saya, dia supir truk. Saya tidak tahu dia bawa senapan di belakang mobilnya atau tidak. Dia bertanya, “Kamu orang Islam ya?”

Saya harus menjawab apa. Kalau saya jawab, saya dari New York, bagi mereka itu jawaban yang lebih buruk. Saat itu saya menjawab : “Puji Tuhan”. Ketika saya jawab Puji Tuhan, dia langsung pergi. Ketika saya katakan, “Puji Tuhan”, maka akan bisa dipahami dengan cara yang berbeda. Saya akan jabarkan inti selanjutnya.

Hal lainnya adalah… Coba misalnya kita katakan seperti ini. Misalnya tidak ada kata Allah disitu, misalnya dihilangkan, lalu apa sisanya? Alhamduli Rabbil Alamin. Saya tidak memberi terjemahan yang akuratnya dulu, tapi artinya adalah “Segala puji milik penguasa semesta alam”. Seperti itu kan di terjemahan? Kamu tidak menyebut Allah. Ingat saat saya kisahkan tentang, “Puji Tuhan”. Itu bisa membuat bingung kan? Kamu bilang ke orang lain: “Hey, segala puji itu milik penguasa semesta alam.” Apakah mungkin, orang itu mempunyai pemahaman yang berbeda tentang Sang Penguasa semesta alam? Jika saya katakan ke teman saya yang ada di Louisiana: “Pujilah Allah, Tuhan Semesta Alam.” Maka tidak akan membingungkan. Maka jelas yang saya maksudkan adalah Allah.

Sebenarnya ada contohnya di Al Quran. Nabi yang harus menghadapi para penyihir, Nabi Musa a.s. Para penyihir melempar talinya, Nabi Musa pun melemparkan tongkatnya. Lalu ular Nabi Musa menelan semua sihir mereka. Lalu apa yang terjadi pada para penyihir itu? Apa yang mereka lakukan? Mereka pun bersujud (QS. 7: 120).

Firaun berdiri di atas panggung melihat mereka bersujud di sana. Dia pun bingung, “Ada apa? Kamu bersiap-siap untuk ronde dua? Apa ini bagian dari sandiwara? Atau ini apa?”

Mereka pun bangun dari sujud, dan mereka berkata, (QS. 7:121) “Kami beriman pada Tuhan penguasa semesta alam”.  Firaun pun masih bingung, “Saya tahu… saya tahu.. penguasa alam itu saya.” Karena Firaun pikir dia itu Tuhan. Ketika mereka berkata: “Tuhan penguasa semesta alam”, Firaun tidak masalah dengan kalimat itu. Firaun berkata, “Ya, lalu? Lanjutkan kata-katanya”. Dan mereka berkata: “Bukan kamu jenius, Tuhannya Musa dan Harun.” (QS. 7: 122). “Tuhannya Musa dan Harun, bukan kamu.” Mereka harus mengklarifikasinya. Karena kalau hanya mengatakan ‘rabbil alamin’ (Tuhan semesta alam), maka Firaun tidak masalah. Maka kata ‘Allah’ dalam Alhamdulillah itu penting.


8. Alhamdulillah Sangat Luas, Pujian dan Terima kasih untuk Segalanya

Tapi ada hal lain lagi, ini indah sekali. Ketika saya berterima kasih kepada seorang pelukis. Saya melihat lukisan, atau misalnya kaligrafi atau seni lainnya. Saya katakan: “Terima kasih”. Terima kasihnya saya tujukan kemana? Atas karya seninya. Jika kamu berterima kasih pada  seorang guru, kamu berterima kasih atas apa yang mereka ajarkan padamu. Ketika berterima kasih pada orang yang menolongmu, kamu berterima kasih atas bantuan yang mereka lakukan. Terima kasih itu ditujukan untuk hal tertentu. Untuk apa yang dilakukan untukmu. Iya, kan?

Pujian pun ditujukan untuk hal tertentu? Kamu memuji keindahan sebuah gunung karena keindahannya. Kamu memuji atas kesegaran udara, karena kamu menikmatinya. Tapi…. Jika misalnya kita mengatakan ‘Alhamdulil kholiq’, Segala puji dan syukur itu milik Sang Pencipta. Lalu apa yang kita ucapkan terima kasih pada Allah itu, hanya untuk apa? Karena Dia menciptakan.

Jika misalnya kita mengatakan ‘Alhamdulil Hakim’, Segala Puji dan syukur itu milik Yang Maha Bijaksana. Satu-satunya yang kita hargai dari Allah adalah apa? Kebijaksanaan-Nya.

Bagaimana caranya agar saya bisa menghargai segala tentang Allah dan tidak ada apapun yang terlewat. Baik yang dapat saya pikirkan maupun yang tidak. Saya rangkum semuanya ke dalam satu pernyataan yang ringkas, sehingga saya dapat berterima kasih pada-Nya, sebagaimana semestinya dalam satu pernyataan, satu-satunya pilihan yang tersisa yang ada adalah? Alhamdulillah. Cuma itu pilihannya. Itulah sedikit tentang Alhamdulillah.




Surat Al Fatihah, Pembuka untuk Seluruh Surat Dalam Al Qur’an

Saya baru saja menjelajahi apa maksud dari kata Alhamdulillah dan alternatif-alternatif lainnya. Dan bagaimana alternatif lainnya itu tidaklah bagus. Bisa dibayangkan tidak, bahwa isi Al Qur’an itu seluruhnya seperti ini? Kata demi kata, satu per satu. Ini akan membuatmu menghargai Al Quran lebih dari yang lain.

Baru-baru ini saya ditanya, kenapa Al Fatihah? Saya katakan, jika umat muslim dapat bercermin dengan mendalam terhadap Surat Al Fatihah, maka itu akan membukakan pintu untuk keseluruhan Al Quran. Jika kita meremehkan Al Fatihah, maka kita pun akan meremehkan keseluruhan isi Al Quran. Jika kita mulai untuk menghargai keindahan dan kedalaman makna dari Al Fatihah, itu akan membuat kita ingin menjelajahi keseluruhan isi Al Quran. Apakah arti dari Surat Al Fatihah? Pembukaan. Jika kamu mendalaminya, maka akan membuka pintu lainnya. Jika tidak, maka pintunya akan tetap tertutup. Itulah yang coba kita lakukan hari ini, itulah mengapa Surat Al Fatihah yang kita bahas.

Frase selanjutnya dari Surat Al Fatihah adalah ‘Rabbil alamin’. (Bersambung)

Ceramah oleh : Ust. Nouman Ali Khan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar