- BELAJAR DARI PENDAHULUNYA [ Soeharto - Bapak Pembangunan Indonesia ]
Selama 30 tahun era Soeharto, pembangunan sangat terasa bahkan sampai ke desa-desa. Anda yang sempat mengalami era orde baru tentu masih ingat dengan slogan "Listrik Masuk Desa" dan program Repelita 1 s/d 6. Bahkan sejak pendidikan tingkat dasar (SD) kita sudah dijejali dengan materi Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) tersebut.
30 tahun masa pemerintahan bukanlah waktu yang singkat, lalu bagaimana dengan hasilnya? Indonesia mencapai swasembada pangan pada era ini, pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 7-8% (sebelum krisis ekonomi), kesejahteraan penduduk meningkat, terjadi perubahan sektor ekonomi & lapangan kerja, berkembangnya investasi & ekspor, dan proyek yang dihasilkan dari Hutang Luar Negeri.
Dana pembangunan pada era Orde Baru tidak lain bersumber dari Hutang Luar Negeri. Tercatat pada masa Orde Baru berkuasa, Hutang Luar Negeri sebesar 1500 Triliun Rupiah yang jika dirata-rata hutang negara selama 32 tahun bertambah sekitar 47 Triliun Rupiah pertahun. Dari angka fantastis tersebut hanya 73% yang dapat disalurkan dalam bentuk proyek/program, sedang sisanya 27% menjadi penjaman yang tidak efektif. Belum lagi proyek-proyek yang dijalankan ternyata hanya menyuburkan korupsi yang mendarah daging dari golongan elite pemerintahan dan keluarganya sampai ke pelosok aparatur negara di pedesaan. Tidak hanya itu, hutang luar negeri mensyaratkan proyek harus dikerjakan oleh konsulat dan korporasi yang ditunjuk oleh mereka sehingga memperparah terjadinya mark-up/penggelembungan dari nilai riil proyeknya dan dikuasainya pengelolaan sektor-sektor penting oleh swasta/ bangsa lain. Lalu, dari pengalaman Orde Baru tersebut bisa anda nilai sendiri, sebesar apakah efektifitas Hutang Luar Negeri?
Bahkan sampai sekarang hampir diusia 72 tahun Indonesia merdeka, kita masih merasakan dampak dari besarnya hutang luar negeri. Berdasarkan data tahun 2016 76% pemasukan dari pajak hanya untuk membayar cicilan utang dan bunganya, padahal pajak adalah sumber penerimaan utama negara. Tercatat pada january 2016 penerimaan pajak hanya 62.2 triliun, sementara negara membayar cicilan utang dan bunganya sebesar 47.4 triliun. Belum lagi warisan budaya korupsi yang masih merajalela, sumber daya alam yang banyak dikuasai pihak asing seperti Freeport, Newmont, BP, Exxon, dll. Sebagai contoh freeport yang sudah hampir setengah abad mengeruk kekayaan alam papua. Berdasarkan catatan Human Right For Social Justice keuntunga PT. Freeport di papua perhari mencapai 114 milyar rupiah atau 3534 triliun rupiah per bulan dan royalti yang diberikan ke pemerintah Indonesia 1 s/d 4 % saja. Ironisnya rakyat Papua yang seharusnya punya hak atas kekayaan alamnya justru tidak mendapatkan manfaat keuntungan apapun, masih dalam belitan kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan & kesejahteraan, dan justru harus mewariskan dampak kerusaka ekologis pada keturunan mereka
- antara AMBISI dan BENCANA [ Jokowi - Bapak Infrastruktur Indonesia
January 2016 posisi utang Indonesia tembus di angka 4234 triliun rupiah
(sumber : cnnindonesia.com)
Tampaknya hasil kerja nyata semacam itu juga yang ingin dicapai selama 5 tahun pemerintahan Jokowi dengan rencana pembangunan Infrastruktur. Jokowi memang sejak kampanye mengatakan kalau perekonomian negara ingin naik, infrastruktur harus dibenahi. Bahkan ada salah satu media online beberapa waktu lalu yang menyebut " Jokowi Bapak Infrastruktur Indonesia , membangun Infrastruktur Terbesar Dalam Sejarah Indonesia " pada subject beritanya.
Namun ada kekhawatiran mengerikan yang terbersit dibalik rencana pembangunan yang bisa dibilang terlalu optimistis tersebut terkait sumber pendanaannya. Barangkali isu yang paling perlu dibahas adalah bagaimana berbagai proyek pembangunan tersebut jangan sampai menjadi sarana untuk menjerat negara Indonesia dalam libatan hutang tanpa ujung. Hutang luar negeri untuk membantu pembangunan negara tak lain merupakan proses pembohongan publik. Hutang luar negri tidak lain adalah sarana mencurangi dan menipu negara dengan meminjamkan utang yang melebihi kemampuan negara untuk membayar, dan kemudian menguasainya.
Rencana pembangunan yang terlalu optimistis tersebut membuat saya teringat dengan dua buku kontroversial yang didalamnya berisi pengakuan mengenai latarbelakang kelam beberapa kejadian penting di dunia (salah satunya di Indonesia). Buku yang pertama berjudul "The New Rules of The World" yang ditulis oleh John Pilger seorang jurnalis Australia yang tinggal di Inggris. Buku tersebut diantaranya mengulas fakta dibalik dimulainya liberalisasi ekonomi Indonesia pada awal Orde Baru. Pilger yang merujuk analisis dokumen historis Jeffrey Winters dan Brad Sampson m2ngungkap latar belakang diadakannya Konfrensi Jenewa 1967 yang disponsori oleh Time-Life Corporation. Konfrensi yang disebutnya sebagai "pertemuan merancang pengambil-alihan Indonesia" itu diikuti oleh korporat raksasa Barat dan ekonom-ekonom top Indonesia yang kemudian dikenal sebagai "Berkeley Mafia". Konfrensi 3 hari itu berbuah "kaplingisasi" kekayaan alam di Indonesia. Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat, Konsorsium Eropa menguasai nikel di Papua Barat, Alcoa mendapat bagian terbesar bauksit di Indonesia, dan kelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat, dan Kalimantan.
Buku kedua berjudul "Confession of an Economic Hitman" yang ditulis oleh John Perkins, seorang yang berprofesi sebagai Economic Hitman (EHM) yang bukan hanya mengacaukan hidup satu dua orang, satu dua masyarakat, namun dia mengacaukan hidup rakyat di beberapa negara. EHM adalah seorang pofesional terlatih yang ditugaskan membujuk negara-negara didunia untuk menggunakan dana pinjaman Internasional dari Bank Dunia, USAID dan bantuan luar negeri lainnya yang sumbernya dari dana korporasi raksasa dan pendapatan beberapa keluarga kaya yang mengendalikan sumber-sumber daya alam planet bumi ini serta negara adidaya yang berkepentingan untuk menguasai sumber daya di negara incarannya. Cara kerja EHM adalah mendekati / berdiplomasi dengan para pemimpin berbagai negara untuk meyakinkan mereka dengan prediksi ekonomi yang sangat optimis dan potensi kemajuan yang akan terjadi dengan negara mereka berdasarkan hasil penelitiannya. Sehingga pada akhirnya kepala negara tersebut setuju dengan idenya dan mau menjalankan proyek tersebut. Proyek ini membutuhkan dana yang sangat besar diluar kemampuan pembiayaan negaranya sehingga harus berhutang keluar negeri yang pada akhirnya membelenggu negara.
Salah satu contoh riil dirasakan oleh rakyat Indonesia ketika zaman orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Berdasarkan pengakuan EHM pada buku tersebut, pada saat itu ada 11 orang team yang salah satunya adalah John Perkins datang ke Indonesia dan memulai penelitiannya mengenai pembangunan listrik di Indonesia. Perkins ke Indonesia adalah memprediksikan kemajuan-kemajuan yang akan dialami oleh Indonesia ketika membangun pembangkit-pembangkit listrik di nusantara, kemajuan ini dapat dilihat dari pendapatan Negara yang akan meningkat karena dengan membangun listrik ini akan meningkatkan produksi kelompok-kelompok usaha atau perusahaan-perusahaan di Indonesia. Sehingga pada akhirnya Indonesia tertarik dan mau untuk berhutang ke world bank maupun IMF.
Kesejahteraan dan kemajuan-kemajuan yang diprediksikan EHM ini terbukti hanya sekedar pemanis saja, dan pemanis ini mengandung racun yang sangat berbahaya. Sampai sekarang sangat sulit bagi Indonesia untuk terlepas dari hutang ini, bahkan bunga dari hutang luar negeri Indonesia mendekati jumlah hutang pokoknya.
Berkaca pada pengakuan EHM tersebut mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada era Orde Baru, tidakkah seharusnya pemerintah mengkaji kembali rencara ambisius Presiden Jokowi untuk menjadi Bapak Infrastruktur Indonesia ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar