Kumulai lagi menulis blog ini dengan tekat sekuat petasan renteng yang biasa dinyalakan saat perayaan tahun baru cina - meledak-ledak diawal dan tidak lama kemudian akan sunyi kembali, heheee... semoga tidak.
Buat ku yang tidak bisa dan tidak biasa menulis, kegiatan ngisi blog seperti ini sudah tentu sangat berat, karena itu sejak awal aku tidak berharap banyak. Sekedar sarana latihan agar tulisan dan tatabahasaku lebih berkembang lagi.
Oke...cukup dulu soal ba...bi...bu... alasan berantakannya blog tulisan ini, langsung aja ke ceritaku.
Beberapa waktu yang lalu aku melakukan perjalanan dari kota Rohan ke kota Mordor (nama kota sengaja disamarkan) disiang hari yang terik menggunakan mobil strada double cabin bersama seorang rekan kerja. Aku duduk nyaman dikursi depan sebelah driver dan menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Meskipun didalam mobil terasa nyaman dan sejuk karena efek AC yang diputar maksimal, namun tampak jelas bahwa siang itu terik matahari begitu menyengat. Tanah-tanah kering, debu berterbangan diombang-ambingkan kendaraan yang lalu-lalang, tak tampak sedikitpun kelembaban meskipun tak jauh dari jalan raya ada sungai yang cukup lebar. Orang-orang pun seolah enggan keluar dan memilih untuk istirahat didalam rumah sambil menggoyangkan kipas darurat dari bahan seadanya. Sesekali tampak orang yang terpaksa harus ada di luar rumah seperti tukang parkir, polisi gopek, pedagang keliling, dll dengan peluh keringat bercucuran. Bahkan ada yang sampai melepas kaos dan diikatkan di kepala untuk sekedar mengurangi cucuran keringat yang mengganggu.
Jalan yang kami lewati cukup banyak lubang disana-sini sehingga mobil kami hanya bisa dipacu dengan kecepatan 20km/jam. Temanku yang duduk di kursi pengemudi tak henti-hentinya mengeluh "kota ini yang katanya termasuk dalam 10 kabupaten terkaya di Indonesia, namun jalan lintas kotanya begitu memprihatinkan" dan keluhan lain .
Saya yang tidak sesering dia melalui jalan ini, masih bisa menanggapi dengan tenang. "Kalau ini videogame, tiap lubang ada jackpotnya, sudah dapat banyak poin kita" candaku. Tapi nampaknya candaanku tak dapat menghiburnya yang hampir setiap hari menempuh perjalanan 64 km melalui jalan ini. Jalanan yang kami lewati tampak semakin padat merayap. Kucoba mendongakkan kepala untuk mencari tau penyebab kepadatan kendaraan ini. Rupanya terjadi longsoran tanah yang menutupi hampir satu jalur sehingga satu jalur sisanya harus dipakai bergantian untuk dua arah kendaraan. Dari jauh, terlihat ada dua orang berada ditengah jalan, berdiri diujung paling depan antrian kendaraan memegang bendera ditangan dan peluit yang masih menempel dimulut sambil sesekali dibunyikan untuk memberi perintah pada antrian kendaraan, layaknya komandan pleton sedang menertipkan barisan mobil. Mobil kami pun ikut dalam barisan tersebut sambil sesekali maju perlahan layaknya barisan siput bermesin dan berkerangka besi. Saat melewati komandan pengatur jalan itu temanku menurunkan kaca mobil dan memberinya selembar uang 5000an. Dengan sigap sang komandan pengatur jalan menerima dengan kedua tangannya, kemudian diciuminya uang warna coklat bergambar Imam bonjol tersebut sambil mengucap terimakasih 3x lalu menyimpannya di balik topi anyaman bambu khas petani yang dipakainya. Dari dalam dalam mobil aku tersenyum miris menyaksikan reaksi berlebihan bapak itu pada selembar uang. Kami pun segera berlalu melanjutkan perjalanan.
Cukup sekian dulu cerita gak penting, gak berujung kemana2 :-P