Kamis, Agustus 03, 2017

Puisi / Lyric paling sedih buat para galau-er



Lihatlah diriku
Pandanglah ke arahku...

Apakah kau tidak melihat kesedihanku
Saat ini aku sedang menangis

Hidupku kini tersesat
Hilang arah tujuanku
Hidupku kini sendiri

Inikah yang harus kujalani
Mengapa semua ini terjadi, hatiku menolaknya
Hanya air mata yg tinggal bersamaku

Harapanku patah tanpa jawaban
Rinduku hanya tinggal ucapan
Yang tersisa hanya penyesalan

Namun masih pantaskah hati ini merindu?
Jika aku bukan siapa-siapa di hatimu?

Aku siapa?
Dan kau siapa?
Mestinya dulu kusadari itu

Aku pikir dengan cinta
Aku dapat memiliki cintamu 

Banyak orang berkata kepadaku
Tentang keburukanmu

Bahkan didepan mataku 
Tapi aku tak peduli itu

Sebab aku mencintaimu
Bukan dari mataku
Tapi dari hatiku

Aku kan pergi
Bersama tenggelamnya cintaku

Tanpamu, aku akan belajar bahagia
Tanpamu, aku akan mencari cinta

Jika suatu saat kau ingin menemuiku
Maka pergilah ke puncak gunung,
Turunlah ke pantai
Atau masukilah hutan
Maka kau akan menemukanku disana

Selamat tinggal insan yang kukagumi
Aku kan berlayar diatas aliran air mataku
Semoga kau berbahagia
Begitu juga dengan diriku


Catatan sikil 👣

Tulisan diatas sumpah✌ bukan ane yg ngarang, belum jelas apa itu puisi atau lyric & siapa yg buat, ane cuma nemu di dalam laci dan cukup bikin baper makanya ane publish disini.

Jadi gimana, sedih gak? Klo menurut ane sih cukup bikin ane yg gak melow jadi ikutan galau.




Sabtu, Maret 18, 2017

Perjalanan

Kumulai lagi menulis blog ini dengan tekat sekuat petasan renteng yang biasa dinyalakan saat perayaan tahun baru cina - meledak-ledak diawal dan tidak lama kemudian akan sunyi kembali, heheee... semoga tidak.
Buat ku yang tidak bisa dan tidak biasa menulis, kegiatan ngisi blog seperti ini sudah tentu sangat berat, karena itu sejak awal aku tidak berharap banyak. Sekedar sarana latihan agar tulisan dan tatabahasaku lebih berkembang lagi.

Oke...cukup dulu soal ba...bi...bu... alasan berantakannya blog tulisan ini, langsung aja ke ceritaku.



Beberapa waktu yang lalu aku melakukan perjalanan dari kota Rohan ke kota Mordor (nama kota sengaja disamarkan) disiang hari yang terik menggunakan mobil strada double cabin bersama seorang rekan kerja. Aku duduk nyaman dikursi depan sebelah driver dan menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Meskipun didalam mobil terasa nyaman dan sejuk karena efek AC yang diputar maksimal, namun tampak jelas bahwa siang itu terik matahari begitu menyengat. Tanah-tanah kering, debu berterbangan diombang-ambingkan kendaraan yang lalu-lalang, tak tampak sedikitpun kelembaban meskipun tak jauh dari jalan raya ada sungai yang cukup lebar. Orang-orang pun seolah enggan keluar dan memilih untuk istirahat didalam rumah sambil menggoyangkan kipas darurat dari bahan seadanya. Sesekali tampak orang yang terpaksa harus ada di luar rumah seperti tukang parkir, polisi gopek, pedagang keliling, dll dengan peluh keringat bercucuran. Bahkan ada yang sampai melepas kaos dan diikatkan di kepala untuk sekedar mengurangi cucuran keringat yang mengganggu.

Jalan yang kami lewati cukup banyak lubang disana-sini sehingga mobil kami hanya bisa dipacu dengan kecepatan 20km/jam. Temanku yang duduk di kursi pengemudi tak henti-hentinya mengeluh "kota ini yang katanya termasuk dalam 10 kabupaten terkaya di Indonesia, namun jalan lintas kotanya begitu memprihatinkan" dan keluhan lain .
Saya yang tidak sesering dia melalui jalan ini, masih bisa menanggapi dengan tenang. "Kalau ini videogame, tiap lubang ada jackpotnya, sudah dapat banyak poin kita" candaku. Tapi nampaknya candaanku tak dapat menghiburnya yang hampir setiap hari menempuh perjalanan  64 km melalui jalan ini. Jalanan yang kami lewati tampak semakin padat merayap. Kucoba mendongakkan kepala untuk mencari tau penyebab kepadatan kendaraan ini. Rupanya terjadi longsoran tanah yang menutupi hampir satu jalur sehingga satu jalur sisanya harus dipakai bergantian untuk dua arah kendaraan. Dari jauh, terlihat ada dua orang berada ditengah jalan, berdiri diujung paling depan antrian kendaraan memegang bendera ditangan dan peluit yang masih menempel dimulut sambil sesekali dibunyikan untuk memberi perintah pada antrian kendaraan, layaknya komandan pleton sedang menertipkan barisan mobil. Mobil kami pun ikut dalam barisan tersebut sambil sesekali maju perlahan layaknya barisan siput bermesin dan berkerangka besi. Saat melewati komandan pengatur jalan itu temanku menurunkan kaca mobil dan memberinya selembar uang 5000an. Dengan sigap sang komandan pengatur jalan menerima dengan kedua tangannya, kemudian diciuminya uang warna coklat bergambar Imam bonjol tersebut sambil mengucap terimakasih 3x lalu menyimpannya di balik topi anyaman bambu khas petani yang dipakainya. Dari dalam dalam mobil aku tersenyum miris menyaksikan reaksi berlebihan bapak itu pada selembar uang. Kami pun segera berlalu melanjutkan perjalanan.

Cukup sekian dulu cerita gak penting, gak berujung kemana2 :-P



Selasa, Februari 14, 2017

MIMPI JOKOWI MENJADI BAPAK INFRASTRUKTUR INDONESIA Vs HUTANG LUAR NEGERI





- BELAJAR DARI PENDAHULUNYA [ Soeharto - Bapak Pembangunan Indonesia ]



Selama 30 tahun era Soeharto, pembangunan sangat terasa bahkan sampai ke desa-desa. Anda yang sempat mengalami era orde baru tentu masih ingat dengan slogan "Listrik Masuk Desa" dan program Repelita 1 s/d 6. Bahkan sejak pendidikan tingkat dasar (SD) kita sudah dijejali dengan materi Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) tersebut. 
30 tahun masa pemerintahan bukanlah waktu yang singkat, lalu bagaimana dengan hasilnya? Indonesia mencapai swasembada pangan pada era ini, pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 7-8% (sebelum krisis ekonomi), kesejahteraan penduduk meningkat, terjadi perubahan sektor ekonomi & lapangan kerja, berkembangnya investasi & ekspor, dan proyek yang dihasilkan dari Hutang Luar Negeri. 
Dana pembangunan pada era Orde Baru tidak lain bersumber dari Hutang Luar Negeri. Tercatat pada masa Orde Baru berkuasa, Hutang Luar Negeri sebesar 1500 Triliun Rupiah yang jika dirata-rata hutang negara selama 32 tahun bertambah sekitar 47 Triliun Rupiah pertahun. Dari angka fantastis tersebut hanya 73% yang dapat disalurkan dalam bentuk proyek/program, sedang sisanya 27% menjadi penjaman yang tidak efektif. Belum lagi proyek-proyek yang dijalankan ternyata hanya menyuburkan korupsi yang mendarah daging dari golongan elite pemerintahan dan keluarganya sampai ke pelosok aparatur negara di pedesaan. Tidak hanya itu, hutang luar negeri mensyaratkan proyek harus dikerjakan oleh konsulat dan korporasi yang ditunjuk oleh mereka sehingga memperparah terjadinya mark-up/penggelembungan dari nilai riil proyeknya dan dikuasainya pengelolaan sektor-sektor penting oleh swasta/ bangsa lain. Lalu, dari pengalaman Orde Baru tersebut bisa anda nilai sendiri, sebesar apakah efektifitas Hutang Luar Negeri?

Bahkan sampai sekarang hampir diusia 72 tahun Indonesia merdeka, kita masih merasakan dampak dari besarnya hutang luar negeri. Berdasarkan data tahun 2016 76% pemasukan dari pajak hanya untuk membayar cicilan utang dan bunganya, padahal pajak adalah sumber penerimaan utama negara. Tercatat pada january 2016 penerimaan pajak hanya 62.2 triliun, sementara negara membayar cicilan utang dan bunganya sebesar 47.4 triliun. Belum lagi warisan budaya korupsi yang masih merajalela, sumber daya alam yang banyak dikuasai pihak asing seperti Freeport, Newmont, BP, Exxon, dll. Sebagai contoh freeport yang sudah hampir setengah abad mengeruk kekayaan alam papua. Berdasarkan catatan Human Right For Social Justice keuntunga  PT. Freeport di papua perhari mencapai 114 milyar rupiah atau 3534 triliun rupiah per bulan dan royalti yang diberikan ke pemerintah Indonesia 1 s/d 4 % saja. Ironisnya rakyat Papua yang seharusnya punya hak atas kekayaan alamnya justru tidak mendapatkan manfaat keuntungan apapun, masih dalam belitan kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan & kesejahteraan, dan justru harus mewariskan dampak kerusaka  ekologis pada keturunan mereka



- antara AMBISI dan BENCANA [ Jokowi - Bapak Infrastruktur Indonesia

January 2016 posisi utang Indonesia tembus di angka 4234 triliun rupiah 
(sumber : cnnindonesia.com)

Tampaknya hasil kerja nyata semacam itu juga yang ingin dicapai selama 5 tahun pemerintahan Jokowi dengan rencana pembangunan Infrastruktur. Jokowi memang sejak kampanye mengatakan kalau perekonomian negara ingin naik, infrastruktur harus dibenahi. Bahkan ada salah satu media online beberapa waktu lalu yang menyebut " Jokowi Bapak Infrastruktur Indonesia , membangun Infrastruktur Terbesar Dalam Sejarah Indonesia " pada subject beritanya.



Namun ada kekhawatiran mengerikan yang terbersit dibalik rencana pembangunan yang bisa dibilang terlalu optimistis tersebut terkait sumber pendanaannya. Barangkali isu yang paling perlu dibahas adalah bagaimana berbagai proyek pembangunan tersebut jangan sampai menjadi sarana untuk menjerat negara Indonesia dalam libatan hutang tanpa ujung. Hutang luar negeri untuk membantu pembangunan negara tak lain merupakan proses pembohongan publik. Hutang luar negri tidak lain adalah sarana mencurangi dan menipu negara dengan meminjamkan utang yang melebihi kemampuan negara untuk membayar, dan kemudian menguasainya. 

Rencana pembangunan yang terlalu optimistis tersebut membuat saya teringat dengan dua buku kontroversial yang didalamnya berisi pengakuan mengenai latarbelakang kelam beberapa kejadian penting di dunia (salah satunya di Indonesia). Buku yang pertama berjudul "The New Rules of The World" yang ditulis oleh John Pilger seorang jurnalis Australia yang tinggal di Inggris. Buku tersebut diantaranya mengulas fakta dibalik dimulainya liberalisasi ekonomi Indonesia pada awal Orde Baru. Pilger yang merujuk analisis dokumen historis Jeffrey Winters dan Brad Sampson m2ngungkap latar belakang diadakannya Konfrensi Jenewa 1967 yang disponsori oleh Time-Life Corporation. Konfrensi yang disebutnya sebagai "pertemuan merancang pengambil-alihan Indonesia" itu diikuti oleh korporat raksasa Barat dan ekonom-ekonom top Indonesia yang kemudian dikenal sebagai "Berkeley Mafia". Konfrensi 3 hari itu berbuah "kaplingisasi" kekayaan alam di Indonesia. Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat, Konsorsium Eropa menguasai nikel di Papua Barat, Alcoa mendapat bagian terbesar bauksit di Indonesia, dan kelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat, dan Kalimantan.

Buku kedua berjudul "Confession of an Economic Hitman" yang ditulis oleh John Perkins, seorang yang berprofesi sebagai Economic Hitman (EHM) yang bukan hanya mengacaukan hidup satu dua orang, satu dua masyarakat, namun dia mengacaukan hidup rakyat di beberapa negara. EHM adalah seorang pofesional terlatih yang ditugaskan membujuk negara-negara didunia untuk menggunakan dana pinjaman Internasional dari Bank Dunia, USAID dan bantuan luar negeri lainnya yang sumbernya dari dana korporasi raksasa dan pendapatan beberapa keluarga kaya yang mengendalikan sumber-sumber daya alam planet bumi ini serta negara adidaya yang berkepentingan untuk menguasai sumber daya di negara incarannya. Cara kerja EHM adalah mendekati / berdiplomasi dengan para pemimpin berbagai negara untuk meyakinkan mereka dengan prediksi ekonomi yang sangat optimis dan potensi kemajuan yang akan terjadi dengan negara mereka berdasarkan hasil penelitiannya. Sehingga pada akhirnya kepala negara tersebut setuju dengan idenya dan mau menjalankan proyek tersebut. Proyek ini membutuhkan dana yang sangat besar diluar kemampuan pembiayaan negaranya sehingga harus berhutang keluar negeri yang pada akhirnya membelenggu negara.

Salah satu contoh riil dirasakan oleh rakyat Indonesia ketika zaman orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Berdasarkan pengakuan EHM pada buku tersebut, pada saat itu ada 11 orang team yang salah satunya adalah John Perkins datang ke Indonesia dan memulai penelitiannya mengenai pembangunan listrik di Indonesia. Perkins ke Indonesia adalah memprediksikan kemajuan-kemajuan yang akan dialami oleh Indonesia ketika membangun pembangkit-pembangkit listrik di nusantara, kemajuan ini dapat dilihat dari pendapatan Negara yang akan meningkat karena dengan membangun listrik ini akan meningkatkan produksi kelompok-kelompok usaha atau perusahaan-perusahaan di Indonesia. Sehingga pada akhirnya Indonesia tertarik dan mau untuk berhutang ke world bank maupun IMF.

Kesejahteraan dan kemajuan-kemajuan yang diprediksikan EHM ini terbukti hanya sekedar pemanis saja, dan pemanis ini mengandung racun yang sangat berbahaya. Sampai sekarang sangat sulit bagi Indonesia untuk terlepas dari hutang ini, bahkan bunga dari hutang luar negeri Indonesia mendekati jumlah hutang pokoknya.

Berkaca pada pengakuan EHM tersebut mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada era Orde Baru, tidakkah seharusnya pemerintah mengkaji kembali rencara ambisius Presiden Jokowi untuk menjadi Bapak Infrastruktur Indonesia ?